Senin, 29 Mei 2017

Tugas Akhir Metode Penelitian Kebudayaan
NAMA : DEA ANANDA ANSAR
NIM     : F21115007

1.       Apa pengertian metodologi dan metode penelitian ? (Prof. Muslim Salam dalam Dialog Paradigma Metodologi Peneleitian Sosial, p. 29-33)
Jawab :
Secara istilah metodologi dan metode penelitian sangat berbeda bahkan dari istilah. Akan tetapi, masih banyak yang sering mencampuradukkan bahkan menyamakan kedua kata tersebut secara tidak langsung. Metodologi jelas terdiri dari dua kata, method dan logos, yang artinya ilmu tentang metode. Berbeda dengan metode yang hanya terdiri dari satu kata, method, yang artinya metode atau cara. Metodologi lebih bersifat general. Metodologi adalah sistem panduan untuk memecahkan persoalan, dengan komponen spesifiknya adalah bentuk, tugas, metode, teknik dan alat. Dengan demikian, metode berada di dalam metodologi, atau dengan kata lain, metode lebih berkenaan dengan teknis saja dari keseluruhan yang dibahas dalam metodologi. Dalam konteks penelitian, yang termasuk metode adalah teknik penggalian data, teknik pengolahan data, penentuan populasi serta sampel dan sejenisnya.
Metodologi penelitian membahas tentang konsep teoritik berbagai metode penelitian, begitupula kelebihan dan kekurangan masing-masing metode. Sementara metode penelitian mengulas secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam suatu penelitian. Metodologi lebih berdimensi science of method, yang sejajar dengan istilah biologi, arkeologi, sosiologi dan lain-lain. Sedangkan istilah metode penelitian merujuk pada resear tools; tidak lebih hanya sebagai prosedur belaka yang bisa dipertukarkan dengan kata teknik, cara, prosedur, dan tata cara (Prof. Muslim Salam, p. 29-33)
Source :
            Salam, Muslim.2012. Metodologi Penelitian Sosial Kualitatif:Menggugat Doktrin Kuantitatif.Makassar:Masagena Press

2.       Apa defenisi dan karakteristik penelitian kuantitatif ? (Prof. Muslim Salam dalam Metodologi Penelitian Sosial, Kualitatif Menggugt Doktrin Kuantitatif, p, 26-35)
Jawab :
                Penelitian Kualitatif menurut para ahli sebenarnya tidak terlalu memiliki perbedaan yang signifikan, meskipun secara redaksional berbeda, namun memiliki kesamaan makna. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang memfokuskan pada aspek pemahaman secara mendalam atas suatu permasalahan. Penelitian Kualitatif merupakan penelitian yang sifatnya deskriptif dan cenderung menggunakan analisis serta lebih menonjolkan proses dan makna daripada hasil. Tujuan dari penelitian Kualitatif ini ialah pemahaman secara lebih mendalam terhadap suatu permasalahan yang dikaji.
Penelitian kualitatif memberikan fokus perhatian pada karaketeristik realitas secara sosial dikonstruksi pada hubungan yang dekat antara peneliti dengan dan apa yang dikajinya serta situational constraints (restriksi situational) yang mempengaruhi suatu penelitian. ((Prof. Muslim Salam, p. 26-35)
Selain itu, penelitian kualitatif merupakan desain penelitian guna mengungkap seputar perilaku dan persepsi manusia mengenai topik atau masalah tertentu. Hasil penelitian kualitatif bersifat deskriptif, bukan prediktif. Metode penelitian kualitatif berangkat dari asumsi-asumsi dalam teori sosial dan teori behavioristik, termasuk sosiologi, antropologi, dan psikologi. (Qualitative Research Consultnts Asspciation). Oleh karena itu, penelitian kualitatif bertujuan guna mendapatkan pemahaman ang mendalam melalui pengalaman responden pertama, pelaporan secara jugur, dan transkrip percakapan yang sebenarnya/valid. Penelitian kualitatif berusaha memahami bagaimana responden memperoleh makna dari lingkungan mereka dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi tindakan/tingkah lakunya. Sedangkan karakteristik dari penelitian kualitatuf adalah sebagai berikut :
Karakteristik
Bodgan & Biklen
Eisner
Merriam
Natural setting ( field focused ) sebagai sumber data
Ya
Ya
Ya
Peneliti sebagai instrumen kunci dalam pengumpulan data
ya
ya
-
Data yang dikumpulkan berupa ungkapan ( words ) atau gambar
Ya
-
ys
Hasil ( outcome ) lebih dimaknai sebagai suatu proses daripada sebagai suatu produk
Ya
-
Ya
Analisis data secara induktif ,perhatian pada hal-hal khusus
Ya
Ya
Ya
Makna difokuskan pada perspektif partisipan ( informan )
Ya
Ya
Ya
Penggunaan bahasa yang ekspresif
-
Ya
-
Persuasif ( persuasion by reason )
-
Ya
-
Sumber : Cresswell ( 1998 :16 )
                Cresswell menyajikan perspektif data yang berbeda tentag karakteristik penelitian kualitatif dari tiga ahli –Bodgan & Biklen, Eisner dan Merriam –tentang karakteristik penelitian kualitatif pada tabel diatas. Pada tabel tersebut terlihat ada 3 karakteristik yang menonjol, yang disepakati oleh tiga ahli , dalam penelitian kualitatif . ketiganya sepakat bahwa “natural setting” sebagai sumber data, analisis data secara induktif dan makna difokuskan pada perspektif partisipan, merupakan karakteristik utama penelitian kualitatif. Berbeda dengan karakteristik lainnya. Sebagai contoh, pengguna bahasa yang ekspresif dalam studi-studi kualitatif hanya dikemukakan oleh Eisner; tidak oleh Bodgan&Biklen maupun Merriam.
Source :
            Salam, Muslim.2012. Metodologi Penelitian Sosial Kualitatif:Menggugat Doktrin Kuantitatif.Makassar:Masagena Press

3.       Apa perbandingan penelitian kuantitatif dan kualitatif? (Prof. Muslim Salam dalam Metodologi Penelitian Sosial, Kualitatif Menggugt Doktrin Kuantitatif, p, 54-57)
Jawab :
Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki tujuan yang sama yakni ingin menjelaskan dan memahami realitas sosial, namun dengan cara dan gayanya masing-masing. Perbedaan pokoknya terletak pada: data yang digunakan, prosedur  penelitian yang dijalankan, penggunaan teori (peran teori tidak sama pada masing-masing metode penelitian), dan karakter hasil dan kedalamannya. Kuantitatif sama sekali tidak berbicara kedalaman makna karena ia hanya menjelaskan realitas secara makro, di permukaan saja, sedangkan kualitatif menjelaskan realitas sosial secara mendalam.
Pertanyaan yang menjadi sesi ini adalah salah satu pertanyaan mendasar dan substansial dalam diskusi dan perdebatan antara para peneliti positivistic methodologydan interpretative/constructivist methodology.Mack, dkk., secara tegas menyatakan bahwa perbedaan utama antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif :
a.       Tujuan analisisnya
b.      Jenis pertanyaan yang dipertanyakan
c.       Jenis instrumen pengumpulan data yang digunakannya
d.      Bentuk data yang dihasilkannya
e.      Tingkat fleksibilitas yang dibuat dalam desain penelitiannya
Berdasarkan pernyataan Marck tersebut maka muncullah pertanyaan, Apa yang paling utama yang membedakan antara metode kuantitatif dan kualitatif. Mack, dkk., berpendapat bahwaperbedaan utama yang membedakan keduanya adalah “fleksibilitas”. Secara umum , metode kuantitatif relatif tidak fleksibel. Dengan metode kuantitatif seperti survey dan kuesioner ,sebagai contoh , para peneliti menanyakan kesemua partisipan pertanyaan yang sama dengan urutan yang sama pula. Kategori respon dari pertanyaan yang dapat dipilih partisipan bersifat “closed-ended. Sedangkan metode kualitatif dicirikan dengan “lebih fleksibel”, dimana metode tersebut memungkinkan spontanitas dan adaptasi serta interaksi yang lebih luwes antara peneliti dan partisipan. Sebagai contoh, metode kualitatif menggunakan pertanyaan “open-ended” yang tidak harus sama persis untuk setiap partisipan.
Source :
            Salam, Muslim.2012. Metodologi Penelitian Sosial Kualitatif:Menggugat Doktrin Kuantitatif.Makassar:Masagena Press

4.       Apa sudut pandang baru melihat kebudayaan? (Prof. Dr. Irwan Abdullah dalam konstruksi dan reproduksi kebudayaan, p1-10) dan Chris Barker dalam Cultural Studies Teori dan Praktik, p, 37-69)
Jawab :
Setelah membaca beberapa rangkuman dari buku Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan saya mendapat sudut pandang baru yakni Kebudayaan sebagai Blue-Print yang telah menjadi kompas dan acuan masyarakat sejak lahir bahkan diwariskan secara turun temurun mengalami pergeseran seiring berkembangnya zaman. Jika awalnya, kebudayaan merupakan simbol-simbol kebudayaan maka kebudayaan saat ini tidak lagi mendapatkan suatu pengaruh generiknya sebagai pedoaman atau acuan tingkah laku manusia. Simbol dan maknanya menjadi suatu objek yang kehadirannya dihasilkan oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan kepentingan masing-masing.
Menurut Friedman, 1995; Miller, 1995; Kebudayaan yang tumbuh akibat dari adanya interaksi terus menerus antarmanusia, kelompok dan lingkungan terus mengalami perubahan. Jika sebelumnya pusat-pusat kebudayaan masih memiliki kekuatan dominan yang memiliki suara untuk menentukan karakter dari suatu ruang sosial , negara mengambil alih peran itu dengan redefenisi ruang untuk mendukung suatu pola hubungan kekuasaan.
Dalam dunia yang semakin terintegrasi dengan tatanan global, batas-batas antara Amerika, Venezuela, dan Cina tersebut, seperti halnya Indonesia, menjadi cair akibat arus orang, barang, informasi, ide-ide, dan nilai yang semakin lancar, padat dan intensif. Arus keluar masuk orang dari dan kesuatu daerah , seperti dari dan ke Pulau Bali, telah menyebabkan sifat-sifat Bali mengalami perubahan tidak lagi seperti bentuk aslinya, walaupun perubahan itu bisa jadi bermakna suatu kemajuan dalam kebudayaan
Source:
            Barker,Chris.2012.Cultural Studies Teori dan Praktik.Yogyakarta:Kreasi Wacana
            Salam, Muslim. 2012. Metodologi Penelitian Sosial Kualitatif:Menggugat Doktrin Kuantitatif. Makassar:Masagena Press.

5.       Bagaimana hubungan cultural studies dengan teori-teori sosial? (Doughlas Kellner dalam Budaya Medis : Cultural Studies, Identitas, dan Politik antara modern dan postmmodern, p, 11-14.
Jawab :
Makna suatu kebudayaan bukan lagi menjadi monopoli suatu pusat orientasi nilai karena delegitimasi dari pusat lama disatu sisi dan munculnya pusat-pusat baru yang siap untuk membangun pengaruh dan mereproduksi nilai-nilai lama untuk konteks dan ruang sejarah yang baru (Ewen, Canclini, 1992).
Dalam konteks pergeseran semacam ini simbol kebudayaan akirnya bukan lagi sebagai pengarah yang menetukan code of conduct dalam suatu masyarakat yang dipatuhi dan memilikidaya paksa , tetapi menjadi alat politik bagi perjuangan kepentingan para pihak, baik individual, kelompok, maupun institusi. Simbol-simbol agama misalnya, tidak hanya menajdi petunjuk arah dari suatu praktik yang berhubungan dengan relijiusitas , tetapi juga bagi sebagian orang, kelompok atau institusi, menjadi alat bagi legitimasi atas keberadaan dan kepentingan. Simbol-simbol kebudayaan telah menjadi alat bagi penegasan autentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan nilai yang semakin tajam. Maka, memahami suatu kebudayaan harus dimulai dengan mendefenisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan generik ( yang merupakan pedoman yang diturunkan), tetapi sebagai kebudayaan (yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial).
Source:
            Barker,Chris.2012.Cultural Studies Teori dan Praktik.Yogyakarta:Kreasi Wacana

            Salam, Muslim. 2012. Metodologi Penelitian Sosial Kualitatif:Menggugat Doktrin Kuantitatif. Makassar:Masagena Press
6.       Apa metodologi dalam cultural studies? (Chris Barker dalam Cultural Studies Teori dan Praktik, p, 28-36)
Jawab :
Pendekatan dan paradigma yang digunakan cultural studies, menurut Barker adalah: etnografi (kulturalis dan mendasarkan pada pengalaman nyata), tekstual (semiotika, pascastrukturalis, dekonstruksi Derridean), dan studi resepsi (reception study, (eklektis).

Sedangkan metode, secara keseluruhan, cultural studies memilih metode kualitatif, dengan fokus pada makna budaya. Mengikut karakter kualitatif yang beroperasi di ranah penemuan meanings (makna, yakni makna budaya) dari struktur pengalaman subjek, dan sejalan dengan pemikiran post-modernisme, maka karya-karya dan penelitian cultural studies menggunakan metode berpikir dinamis, kontekstual, plural dan lokal dan menghindari model berpikir linear, dualis dan statis. Metode berpikir ini merupakan dasar pijakan bagi karya cultural studies untuk menentukan metode (juga teori) yang sesuai.
 Source:
                        Barker,Chris.2012.Cultural Studies Teori dan Praktik.Yogyakarta:Kreasi Wacana



7.       Apa subjek kajian dan karakteristik cultural studies? (Sandi Suwardi Hasan dalam Pngantar Cultural Studies; Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut, p, 27-31)
Jawab :
subjek kajian dalam cultural studies tidak memiliki acuan yang pasti. Sandi Suwandi Hasan (2016) mengatakan Curtural studies tidak memiliki suatu wilayah subjek yang Didefenisikan secara jelas dan terang. Ia hanya bertitik-pijak pada sebuah gagasan tantang budaya yang sangat luas dan sangat mencakup segala hal yang digunakan untuk menggambarkan dan mepelajari beraneka macam praktik keseharian manusia.Tak mengherankan jika ia berbeda dengan disiplin-disiplin ilmu yang konvensional, seperti sosiologi, filsafat, dan fisika, yang masing-masing memiliki wilayah subjek atau objek kajian yang memiliki garis-garis batasan cukup jelas. Cultural sudies tak memiliki subjek studi atau afiliasi disiplin ilmu yang tunggal.
Chris Barker (2000) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang tunggal. Selain itu, kajian budaya memang terlahir dari indung alam pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis.
 Source:
                        Barker,Chris.2012.Cultural Studies Teori dan Praktik.Yogyakarta:Kreasi Wacana
 

8.       Bagaimana sejarah cultural studies di Inggris? (Sandi Suwardi Hasan dalam Pngantar Cultural Studies; Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut, p, 69-88)
Jawab :
Kajian budaya atau cultural studies pertama kali muncul di Birmingham, Inggris,  yang diprakarsai oleh Raymond Williams dan kawan kawan. Cultural studies muncul sebagai satu bidang studi di Inggris pada periode 1950-an, muncul dari paham Leavisisme. Leavisisme merupakan sebuah bentuk studi kesusasteraan yang namanya diambil dari nama salah satu anggota studi ini yang paling terkenal yaitu F.R. Leavis. Leavisime merupakan usaha menyebarkan apa yang sekarang dikenal dengan “modal budaya” seperti yang dikatakan oleh Pierre Bourdieu. Cultural studies berkembang dari Leavisime melalui Hoggar dan Williams, yang tulisan-tulisannya dipakai disecondary schools dan tertiary colleges, tidak lama setelah tulisan-tulisan ini terbit. Keduanya berasal dari keluarga klas pekerja, keduanya pernah bekerja sebagai guru di jenjang pasca pendidikan wajib, meskipun dalam pendidikan pekerja. Dengan demikian, mereka mengalami Leavisime secara ambivalen. Di satu sisi, mereka menerima bahwa teks-teks resmi memang lebih kaya dibandingkan “budaya massa” , dan bahwa budaya perlu diukur kapasitasnya untuk meperdalam dan memperluas pengalaman. di lain sisi, mereka mengakui bahwa Leavisisme bisa menghapuskan, atau setidaknya tidak berhubungan dengan bentuk-bentuk komunal dari kehidupan, di manamereka dilahirkan.
Hoggart kemudian mendirikan the Birmingham Centre for Contermporary Cultural Studies (CCCS), sebuah institut pasca sarjana dan penelitian yang didirikan untuk memperdalampenelitiannya, segalanya dimulai dengan kenyataan bahwa dirinya harus berhadapan dengan ketegangan tadi. Hoggart percaya bahwa menagungkan budaya tinggi yang sudah tua itu dapat berjalan sejajar dengan memunculkkan kembali budaya masa mudanya, sebab keduanya sama-sama terpisah dari budaya popular komersial yang kontemporer. Dengan demikian, keduanya juga sama-sama mendapat ancaman. Ancaman terhadap kehidupan klas pekerja tradisional Inggris dan kemudian lenyapnya klas tsb, perlu mendapat perhatian di sini karena hal ini memiliki arti penting untuk perkembangan cultural studies awal.
Sebelum perang, sejak awal 1920-an, ekonomi Inggris didominasi oleh pengangguran – tidak pernah kurang dari sejuta pengangguran pada masa ini. Ini adalah latar belakang dari apa yang disebut Hoggar dengan klas pekerja “tradisional”. Menjelang akhir 1940-an, Inggris berubah menjadi negara dengan sangat sedikit jumlah pengangguran, dan menjelang akhir 1950-an, ekonomi Inggris semakin mengarah ke terhapusnya pengangguran. terhapusnya pengangguran. Pekerjaan bergeser ke sektor pemerintah; pabrikpabrik kecil digantikan dengan pabrik besar yang memakai teknik produksi ‘Fordisme’ – yang berarti, menyederhanakan tugas-tugas pekerja di assembly line – yang berarti juga, buruh semakin tidak punya keahlian (deskilled). Bersamaan dengan itu, perbedaan antara whitecollar dengan gaji rendah, dengan blue-collar semakinmengecil. imigrasi skala besar dari daerah-daerah koloni yang terjadi selama 1950-an membawa akibat banyak pekerja setempat yang tidak perlu lagi bekerja di bidang-bidang yang paling tidak diinginkan. Pekerja kemudian menjadi semakin ‘makmur’ (sesuai istilah yang dipakai media saat itu), setidaknya mereka semakin mampu membeli barang-barang konsumtif seperti mobil, baju, mesin cuci, lemari es, telpon, dan yang paling penting, televisi.
Pada akhirnya, program perumahan yang dilakukan oleh negara dalam skala besar, wajib militer, dan reformasi sistem pendidikan sehingga klas pekerja berkesempatan memasuki pendidikan tinggi, juga mendorong runtuhnya budaya yang disebutkan Hoggart Beberapa teori yang sebetulnya mengartikulasikan agenda cultural studies: teori budaya Marxis & teori estetika dan budayaMazhab Frankfurt Tetapi istilah cultural studies baru mulai digunakan pada karya-karya anggota Mazhab Birminghamdi CCCS Para akademisi CCCS: Stuart Hall, PaulWillis, Dick Hebdige, dll. Pijakan para akademisi tsb adalah teori Marxis, tetapi pendekatannya jauh diluar pendekatanMarxis atas budaya Pendekatan para akademisi tsb mendapat berbagai pengaruh politis & intelektual, misal:Gramsci, Foucault, dan feminisme. Cultural studies Birmingham dilakukan dengan lebih dekat pada kehidupan politik sehari-hari dan gerakan sosial. Hal tsb disebabkan: _ para akademisi Inggris tadi mau tidak mau harus melawan serangan PM Tatcher atas kelas pekerja, intelektual, dan kaumkiri.
Meskipun studi ini tidak melihat dirinya seperti ini. Kajian budaya berminat dalam mempelajari budaya budaya yang terpinggirkan oleh ideologi-ideologi dominan yang hidup pada sebuah budaya. Adapun fokus suatu kajian budaya adalah perubahan sosial, yaitu munculnya atau diakuinya budaya-budaya yang termarginalkan tersebut. Inilah yang membedakan dengan frankfur school yang melawan dominasi untuk merebut kekuasaan dalam masyarakat. Objek kajian budaya pada umumnya adalah ras, gender dan usia.
Kajian budaya merupakan sebuah bidang studi interdisipliner, yang diakui sebagai bidang studi secara resmi, dengan ditandai oleh munculnya “ the centre for the contempory cultural studies” di Birmingham, Inggris tahun 1964.
9.       Berikan tanggapan terhadap metode, aplikasi dan pembahasan Aquarini Priyatna dalam sub-bab Selebritas Indo: Tubuh yang paradoks, (p, 77-92). Dalam Becoming White: representasi Ras, kelas, feminitas dan globalitas dalam iklan sabun)


 Source:
                        Barker,Chris.2012.Cultural Studies Teori dan Praktik.Yogyakarta:Kreasi Wacana
 
Jawab :
Pada cover majalah Femina No. 29 / XXIX, 19-25 Juli 2001, sosok Tamara ditampilkan sebagai wanita dewasa yang modern di balik gaun panjang. Pakaian serta make-up yang minimalis menyiratkan sosok perempuan yang mandiri dan dewasa, dalam kerangka kehidupan modern. Gaya busana dan rambut merah Tamara merupakan gaya yang hampir tidak semua perempuan bisa menirunya. Meskipun demikian, sosok tersebut kerap dinikmati sebagai sosok ideal yang dimitoskan: putih, cantik, dan bersih. Sementara Sophia, dalam cover majalah Femina No. 37 / XXIX, 13-19 September 2001, terlihat lebih santai.
Gambar kedua sampul tersebut menangkap momen ketika ketidakputihan serta lokalitas mereka dikecilkan sementara fitur global serta ke-putih-an mereka ditekankan dan menghasilkan efek feminitas yang ideal dan dianggap benar oleh sebagian besar perempuan. Meskipun tidak muncul dalam gambar, sabun hadir dalam bentuk representasi modelnya (yaitu Tamara dan Sophie). Sabun hadir dari referensi warna yang digunakan oleh majalah untuk menyamakan warna sabun yang (ingin) diiklankan begitu juga dengan warna pakaian yang digunakan oleh kedua modelnya.
Sophia menggunakan jeans biru, dan pakaian biru yang sama dengan bungkus GIV, begitu juga warna latar sampul. Sementara Tamara menggunakan baju pink, yang merupakan warna sabun LUX yang diiklankannya. Walaupun Aquarini belum mengeksploitasi penggunaan warna dalam iklan secara mendalam, namun ia yakin bahwa referensi warna memegang peranan penting dalam proses penandaan, pengakraban, yang dapat hadir dengan sangat halus, dan bergantung pada kemampuan audiens untuk mengenali hadir “tak bertanda” dalam iklan sabun tersebut.
Pada bagian ini Aquarini mengajak kita untuk memahami bahwa representasi tubuh indo senada dengan berkembangnya gagasan hitam/putih menjadi gagasan global/lokal. Di sini, ia menjelaskan bahwa globalisasi menggunakan berbagai cara untuk (sebetulnya) menggantikan peran kolonialisasi: semacam nostalgia kolonialisme. Kampanye sabun menekankan pada bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk memutihkan kulit. Gagasan atas desirabilitas tubuh yang dikonstruksi melalui iklan sabun selama Zaman Victoria dikembangkan atas dasar hasrat kolonial untuk menegakkan keinggrisan sebagai suatu standar peradaban. Dengan mengandaikan sabun sebagai alat peradaban, maka menjadi Inggris berarti menjadi berbudaya dan beradab. Di sini jelas bahwa iklan sabun mengimplikasi bahwa menjadi beradab dan berbudaya berarti menjadi putih dan bersih.
Konsep universal yang diusung oleh iklan sabun tersebut menjadikan putih adalah segalanya, di samping adanya penjelasan bahwa putih adalah gabungan dari warna-warna. Selebriti indo yang membintangi iklan sabun, kulit putihnya, ditekankan sedemikian, sehingga ke-putih-an mereka menutupi warna lain (dalam iklan). Ke-putih-an mereka dalam iklan itu diterima sebagai sesuatu yang alamiah. Karena ke-putih-an merupakan konsep global, maka representasi selebriti indo dalam iklan sabun adalah fenomena global pada ranah lokal. Tubuh mereka hanya bisa dikatakan putih jika berada pada lingkungan yang tidak putih. Fenomena yang mengondisikan putih lokal sebagai cukup global di dalam lokalitasnya, tetapi tidak cukup global untuk dapat diakui menjadi “putih universal”, adalah refleksi tatanan global.
Kehadiran selebriti indo dalam iklan sabun di Indonsia menjadi bersifat paradoks. Di satu sisi, mereka dijelaskan sebagai perempuan yang modern, berbudaya, dan berkulit putih, tapi bukan putih orang kulit putih sebenarnya, melainkan globalitas ‘putih’ mereka hanya terjadi di dalam lokalitas kebudayaan Indonesia. Terakhir, iklan sabun di Indonesia yaitu iklan sabun LUX dan GIV, selebriti indo direpresentasikan sebagai putih, berbudaya, global, dan universal di dalam lokalitas kebudaaan Indonesia.
Source:
                        Prabasmoro, Aquarini Priyatna. (2003). Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalisasi dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra


10.   Uraikan dan analisis permasalahan sosial atau budaya atau kehidupan sehari-hari yang dapat anda temui dalam tulisan (Stuart Hall and Cultural Studies: Decoding Cultural Opperession”, retrieved on Nov, 26 2014 from: http://www.pineforge.com/upmdata/13286_Chapter_2_Web_byte_stuart_hall)
Jawab :
Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, maka informasi yang kita dapatkan dapat diakses dengan mudah dan cepat. Hal tersebut dapat kita lihat pada perkembangan media elektronik khususnya televisi. Dalam perkembangan media televisi tentu saja membawa dampak negatif dan positif. Televisi juga merupakan suatu sarana dalam sebuah komunikasi massa, yang juga menjadi salah satu media menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya kepada publik yang menonton tayangan tersebut. Program tersebut mengangkat permasalahan pribadi yang dialami oleh seorang perempuan yang berujung dengan drama, sedih, menggurai air mata serta, seorang perempuan yang selalu identik dengan cantik, lemah, tak berdaya, serta menjadi korban kekerasan oleh laki laki. Inilah yang dijadikan bahan“jualan” dalam acara talk show ini.
Perempuan tidak bisa terlepas dari konstruksi gender masyarakat yang disampaikan secara turun temurun, seperti seorang perempuan adalah sosok yang seakan diharapkan menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga, tidak berpendidikan tinggi dan feminin. Berbeda dengan laki-laki yang dikonstruksikan sebagai pencari nafkah, berpendidikan tinggi dan pemimpin keluarga. Karena konstruksi gender merupakan bangunan sosial dan kultural yang pada akhirnya membedakan antara laki-laki dan perempuan. Secara karakteristik maskulin dan feminin selalu menjadi polemik di berbagai kalangan tak terkecuali bagi media.
Gender tak lepas dari pengertian penempatan peran antara laki-laki dan perempuan di media. Sehingga permasalahan perbedaan gender sangat terlihat. Program tersebut secara terang-terangan “membantu” kaum perempuanyang              menjadi korban                kekerasan yang                oleh       laki-laki dan        tanpa disadari perempuan yang di tampilkan dalam program talk show malah menjadi objek atau target komoditas dan eksploitasi bagi media khususnya televisi. Serta sebagai sasaran bagi pemilik modal untuk meraih keuntungan. Menariknya lagi dari program ini adalah, pembawa acara/ host, psikolog, pakar agama serta penonton yang berada di studio merupakan “perempuan” semua. Hal inilah yang semakin memperkuat bahwa perempuanlah yang menjadi objek menggiurkan untuk dieksploitasi bagi pemilik media. Perempuan seolah selalu menjadi objek yang menarik untuk “dijual” dengan segala sisi dalam dirinya. Media massa sering kali merepresentasikan perempuan dalam berbagai teks dan nilai, seperti halnya dalam program CHP.
Perempuan dalam media massa khususnya televisi, menjadi bagian representasi, hal-hal bersifat pribadi dan rahasia menjadi komoditi kapitalisme yang diperjualbelikan. Begitu pula representasi perempuan dalam program Curahan Hati Perempuan media yang memiliki satu ukuran yang menjadikan penilaian citra perempuan itu menjadi termajinalkan. Dalam hal ini, representasi perempuan dalam media menjadi salah satu hal yang mendapat keprihatinan feminis. Para feminis berangapan bahwa mediaadalah gambaran dari kepentingan, kehendak, serta hasrat masyarakat patriarki yang di topang oleh kapitalis yang dijadikan sebagai komoditas.
“Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang di lakukan oleh seorang laki laki atau sejumlah laki-laki dengan mengerahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis pada seorang perempuan atau sekelompok perempuan termasuk tindakan yang bersifat memaksa, dan atau berbuat sewenang baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi diruang domestik atau publik”. (La Pona 2002:07)
Perempuan di dalam media massa seringkali diposisikan sebagai sosok yang termajinalkan dalam masyarakat patriarki dengan perempuan yang di gambarkan sebagai perempuan yang lemah dan selalu menjadi objek kekerasan laki-laki. Dalam hal ini perempuan dilihat sebagai fenomena dari media massa khususnya televisi. Program Curahan Hati Perempuan menjadikan perempuan sebagai fenomena eksploitasi dan komodifikasi sebagai individu di masyarakat. Menurut peneliti program Curahan Hati Perempuan bukan mengangkat perempuan ataupun membuat citra perempuan menjadi baik akan tetapi justru merepresentasikan bahwa perempuan itu buruk, lemah, tidak bisa mandiri, cenggeng, tidak bisa mengatasi atau menghadapi masalah sendiri. Serta seorang perempuan yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang tidak bisa apa-apa hanya jadi bahan cacian, makian dan korban kekerasan oleh laki-laki baik itu secara fisik maupun psikis.