Tugas Akhir Metode Penelitian Kebudayaan
NAMA : DEA ANANDA ANSAR
NIM : F21115007
1. Apa
pengertian metodologi dan metode penelitian ? (Prof. Muslim Salam dalam Dialog
Paradigma Metodologi Peneleitian Sosial, p. 29-33)
Jawab :
Secara istilah metodologi dan metode penelitian sangat berbeda
bahkan dari istilah. Akan tetapi, masih banyak yang sering mencampuradukkan
bahkan menyamakan kedua kata tersebut secara tidak langsung. Metodologi jelas terdiri
dari dua kata, method dan logos, yang artinya ilmu tentang metode. Berbeda
dengan metode yang hanya terdiri dari satu kata, method, yang artinya metode
atau cara. Metodologi lebih bersifat general. Metodologi adalah sistem panduan
untuk memecahkan persoalan, dengan komponen spesifiknya adalah bentuk, tugas,
metode, teknik dan alat. Dengan demikian, metode berada di dalam metodologi,
atau dengan kata lain, metode lebih berkenaan dengan teknis saja dari
keseluruhan yang dibahas dalam metodologi. Dalam konteks penelitian, yang
termasuk metode adalah teknik penggalian data, teknik pengolahan data,
penentuan populasi serta sampel dan sejenisnya.
Metodologi
penelitian membahas tentang konsep teoritik berbagai metode penelitian,
begitupula kelebihan dan kekurangan masing-masing metode. Sementara metode
penelitian mengulas secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam
suatu penelitian. Metodologi lebih berdimensi science of method, yang sejajar dengan istilah biologi, arkeologi,
sosiologi dan lain-lain. Sedangkan istilah metode penelitian merujuk pada resear tools; tidak lebih hanya sebagai
prosedur belaka yang bisa dipertukarkan dengan kata teknik, cara, prosedur, dan
tata cara (Prof. Muslim Salam, p. 29-33)
Source :
Source :
Salam, Muslim.2012. Metodologi
Penelitian Sosial Kualitatif:Menggugat Doktrin Kuantitatif.Makassar:Masagena
Press
2. Apa
defenisi dan karakteristik penelitian kuantitatif ? (Prof. Muslim Salam dalam
Metodologi Penelitian Sosial, Kualitatif Menggugt Doktrin Kuantitatif, p,
26-35)
Jawab :
Penelitian Kualitatif menurut
para ahli sebenarnya tidak terlalu memiliki perbedaan yang signifikan, meskipun
secara redaksional berbeda, namun memiliki kesamaan makna. Penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian yang memfokuskan pada aspek pemahaman secara
mendalam atas suatu permasalahan. Penelitian Kualitatif merupakan penelitian
yang sifatnya deskriptif dan cenderung menggunakan analisis serta lebih
menonjolkan proses dan makna daripada hasil. Tujuan dari penelitian Kualitatif
ini ialah pemahaman secara lebih mendalam terhadap suatu permasalahan yang
dikaji.
Penelitian
kualitatif memberikan fokus perhatian pada karaketeristik realitas secara
sosial dikonstruksi pada hubungan yang dekat antara peneliti dengan dan apa
yang dikajinya serta situational
constraints (restriksi situational) yang mempengaruhi suatu penelitian. ((Prof.
Muslim Salam, p. 26-35)
Selain itu, penelitian kualitatif merupakan desain penelitian guna
mengungkap seputar perilaku dan persepsi manusia mengenai topik atau masalah
tertentu. Hasil penelitian kualitatif bersifat deskriptif, bukan prediktif.
Metode penelitian kualitatif berangkat dari asumsi-asumsi dalam teori sosial
dan teori behavioristik, termasuk sosiologi, antropologi, dan psikologi. (Qualitative
Research Consultnts Asspciation). Oleh karena itu, penelitian kualitatif
bertujuan guna mendapatkan pemahaman ang mendalam melalui pengalaman responden
pertama, pelaporan secara jugur, dan transkrip percakapan yang
sebenarnya/valid. Penelitian kualitatif berusaha memahami bagaimana responden
memperoleh makna dari lingkungan mereka dan bagaimana makna tersebut
mempengaruhi tindakan/tingkah lakunya. Sedangkan karakteristik dari penelitian
kualitatuf adalah sebagai berikut :
Karakteristik
|
Bodgan & Biklen
|
Eisner
|
Merriam
|
||
Natural
setting ( field focused ) sebagai
sumber data
|
Ya
|
Ya
|
Ya
|
||
Peneliti
sebagai instrumen kunci dalam pengumpulan data
|
ya
|
ya
|
-
|
||
Data yang
dikumpulkan berupa ungkapan ( words )
atau gambar
|
Ya
|
-
|
ys
|
||
Hasil ( outcome ) lebih dimaknai sebagai suatu
proses daripada sebagai suatu produk
|
Ya
|
-
|
Ya
|
||
Analisis
data secara induktif ,perhatian pada hal-hal khusus
|
Ya
|
Ya
|
Ya
|
||
Makna
difokuskan pada perspektif partisipan ( informan )
|
Ya
|
Ya
|
Ya
|
||
Penggunaan
bahasa yang ekspresif
|
-
|
Ya
|
-
|
||
Persuasif
( persuasion by reason )
|
-
|
Ya
|
-
|
||
Sumber :
Cresswell ( 1998 :16 )
Cresswell menyajikan perspektif
data yang berbeda tentag karakteristik penelitian kualitatif dari tiga ahli
–Bodgan & Biklen, Eisner dan Merriam –tentang karakteristik penelitian
kualitatif pada tabel diatas. Pada tabel tersebut terlihat ada 3 karakteristik
yang menonjol, yang disepakati oleh tiga ahli , dalam penelitian kualitatif .
ketiganya sepakat bahwa “natural setting”
sebagai sumber data, analisis data secara induktif dan makna difokuskan pada
perspektif partisipan, merupakan karakteristik utama penelitian kualitatif.
Berbeda dengan karakteristik lainnya. Sebagai contoh, pengguna bahasa yang
ekspresif dalam studi-studi kualitatif hanya dikemukakan oleh Eisner; tidak
oleh Bodgan&Biklen maupun Merriam.
Source :
Salam, Muslim.2012. Metodologi Penelitian Sosial Kualitatif:Menggugat Doktrin Kuantitatif.Makassar:Masagena Press
3. Apa
perbandingan penelitian kuantitatif dan kualitatif? (Prof. Muslim Salam dalam
Metodologi Penelitian Sosial, Kualitatif Menggugt Doktrin Kuantitatif, p,
54-57)
Jawab :
Metode
penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki tujuan yang sama yakni ingin
menjelaskan dan memahami realitas sosial, namun dengan cara dan gayanya
masing-masing. Perbedaan pokoknya terletak pada: data yang digunakan,
prosedur penelitian yang dijalankan, penggunaan teori (peran teori tidak
sama pada masing-masing metode penelitian), dan karakter hasil dan kedalamannya.
Kuantitatif sama sekali tidak berbicara kedalaman makna karena ia hanya
menjelaskan realitas secara makro, di permukaan saja, sedangkan kualitatif
menjelaskan realitas sosial secara mendalam.
Pertanyaan yang menjadi sesi ini
adalah salah satu pertanyaan mendasar dan substansial dalam diskusi dan
perdebatan antara para peneliti positivistic
methodologydan interpretative/constructivist methodology.Mack, dkk., secara
tegas menyatakan bahwa perbedaan utama antara metode penelitian kuantitatif dan
kualitatif :
a.
Tujuan analisisnya
b.
Jenis pertanyaan yang dipertanyakan
c.
Jenis instrumen pengumpulan data yang
digunakannya
d.
Bentuk data yang dihasilkannya
e.
Tingkat fleksibilitas yang dibuat dalam
desain penelitiannya
Berdasarkan pernyataan Marck
tersebut maka muncullah pertanyaan, Apa yang paling utama yang membedakan
antara metode kuantitatif dan kualitatif. Mack, dkk., berpendapat
bahwaperbedaan utama yang membedakan keduanya adalah “fleksibilitas”. Secara
umum , metode kuantitatif relatif tidak fleksibel. Dengan metode kuantitatif
seperti survey dan kuesioner ,sebagai contoh , para peneliti menanyakan kesemua
partisipan pertanyaan yang sama dengan urutan yang sama pula. Kategori respon
dari pertanyaan yang dapat dipilih partisipan bersifat “closed-ended. Sedangkan
metode kualitatif dicirikan dengan “lebih fleksibel”, dimana metode tersebut
memungkinkan spontanitas dan adaptasi serta interaksi yang lebih luwes antara
peneliti dan partisipan. Sebagai contoh, metode kualitatif menggunakan
pertanyaan “open-ended” yang tidak harus sama persis untuk setiap partisipan.
Source :
Salam, Muslim.2012. Metodologi
Penelitian Sosial Kualitatif:Menggugat Doktrin Kuantitatif.Makassar:Masagena
Press
4. Apa
sudut pandang baru melihat kebudayaan? (Prof. Dr. Irwan Abdullah dalam
konstruksi dan reproduksi kebudayaan, p1-10) dan Chris Barker dalam Cultural
Studies Teori dan Praktik, p, 37-69)
Jawab :
Setelah membaca beberapa rangkuman dari buku Kontruksi dan
Reproduksi Kebudayaan saya mendapat sudut pandang baru yakni Kebudayaan sebagai
Blue-Print yang telah menjadi kompas dan acuan masyarakat sejak lahir bahkan
diwariskan secara turun temurun mengalami pergeseran seiring berkembangnya
zaman. Jika awalnya, kebudayaan merupakan simbol-simbol kebudayaan maka
kebudayaan saat ini tidak lagi mendapatkan suatu pengaruh generiknya sebagai
pedoaman atau acuan tingkah laku manusia. Simbol dan maknanya menjadi suatu
objek yang kehadirannya dihasilkan oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan
kepentingan masing-masing.
Menurut Friedman, 1995; Miller, 1995; Kebudayaan yang tumbuh
akibat dari adanya interaksi terus menerus antarmanusia, kelompok dan lingkungan
terus mengalami perubahan. Jika sebelumnya pusat-pusat kebudayaan masih
memiliki kekuatan dominan yang memiliki suara untuk menentukan karakter dari
suatu ruang sosial , negara mengambil alih peran itu dengan redefenisi ruang
untuk mendukung suatu pola hubungan kekuasaan.
Dalam dunia yang semakin terintegrasi dengan tatanan global,
batas-batas antara Amerika, Venezuela, dan Cina tersebut, seperti halnya
Indonesia, menjadi cair akibat arus orang, barang, informasi, ide-ide, dan
nilai yang semakin lancar, padat dan intensif. Arus keluar masuk orang dari dan
kesuatu daerah , seperti dari dan ke Pulau Bali, telah menyebabkan sifat-sifat
Bali mengalami perubahan tidak lagi seperti bentuk aslinya, walaupun perubahan
itu bisa jadi bermakna suatu kemajuan dalam kebudayaan
Source:
Barker,Chris.2012.Cultural
Studies Teori dan Praktik.Yogyakarta:Kreasi Wacana
Salam, Muslim. 2012. Metodologi
Penelitian Sosial Kualitatif:Menggugat Doktrin Kuantitatif. Makassar:Masagena
Press.
5. Bagaimana
hubungan cultural studies dengan teori-teori sosial? (Doughlas Kellner dalam Budaya
Medis : Cultural Studies, Identitas, dan Politik antara modern dan postmmodern,
p, 11-14.
Jawab :
Makna suatu kebudayaan bukan lagi menjadi monopoli suatu
pusat orientasi nilai karena delegitimasi dari pusat lama disatu sisi dan
munculnya pusat-pusat baru yang siap untuk membangun pengaruh dan mereproduksi
nilai-nilai lama untuk konteks dan ruang sejarah yang baru (Ewen, Canclini,
1992).
Dalam konteks pergeseran semacam ini simbol kebudayaan
akirnya bukan lagi sebagai pengarah yang menetukan code of conduct dalam suatu masyarakat yang dipatuhi dan
memilikidaya paksa , tetapi menjadi alat politik bagi perjuangan kepentingan
para pihak, baik individual, kelompok, maupun institusi. Simbol-simbol agama
misalnya, tidak hanya menajdi petunjuk arah dari suatu praktik yang berhubungan
dengan relijiusitas , tetapi juga bagi sebagian orang, kelompok atau institusi,
menjadi alat bagi legitimasi atas keberadaan dan kepentingan. Simbol-simbol
kebudayaan telah menjadi alat bagi penegasan autentisitas kelompok yang
keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan
nilai yang semakin tajam. Maka, memahami suatu kebudayaan harus dimulai dengan
mendefenisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan generik (
yang merupakan pedoman yang diturunkan), tetapi sebagai kebudayaan (yang
dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial).
Source:
Barker,Chris.2012.Cultural
Studies Teori dan Praktik.Yogyakarta:Kreasi Wacana
Salam, Muslim. 2012. Metodologi
Penelitian Sosial Kualitatif:Menggugat Doktrin Kuantitatif. Makassar:Masagena
Press
6. Apa
metodologi dalam cultural studies? (Chris Barker dalam Cultural Studies Teori
dan Praktik, p, 28-36)
Jawab :
Pendekatan dan paradigma yang digunakan cultural
studies, menurut Barker
adalah: etnografi (kulturalis dan mendasarkan pada pengalaman nyata),
tekstual (semiotika, pascastrukturalis, dekonstruksi Derridean), dan studi
resepsi (reception study, (eklektis).
Sedangkan
metode, secara keseluruhan, cultural studies memilih metode kualitatif, dengan fokus pada makna
budaya. Mengikut karakter kualitatif yang beroperasi di ranah penemuan meanings
(makna, yakni makna budaya) dari struktur pengalaman subjek, dan sejalan
dengan pemikiran post-modernisme, maka karya-karya dan penelitian cultural
studies menggunakan metode berpikir dinamis, kontekstual, plural dan lokal
dan menghindari model berpikir linear, dualis dan statis. Metode berpikir ini
merupakan dasar pijakan bagi karya cultural studies untuk menentukan
metode (juga teori) yang sesuai.
Source:
Barker,Chris.2012.Cultural Studies Teori dan Praktik.Yogyakarta:Kreasi Wacana
7. Apa
subjek kajian dan karakteristik cultural studies? (Sandi Suwardi Hasan dalam
Pngantar Cultural Studies; Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju
Studi Budaya Kapitalisme Lanjut, p, 27-31)
Jawab :
subjek
kajian dalam cultural studies tidak memiliki acuan yang pasti. Sandi Suwandi
Hasan (2016) mengatakan Curtural studies tidak memiliki suatu wilayah subjek yang
Didefenisikan secara jelas dan terang. Ia hanya bertitik-pijak pada sebuah
gagasan tantang budaya yang sangat luas dan sangat mencakup segala hal yang
digunakan untuk menggambarkan dan mepelajari beraneka macam praktik keseharian
manusia.Tak mengherankan jika ia berbeda dengan disiplin-disiplin ilmu yang
konvensional, seperti sosiologi, filsafat, dan fisika, yang masing-masing
memiliki wilayah subjek atau objek kajian yang memiliki garis-garis batasan
cukup jelas. Cultural sudies tak memiliki subjek studi atau afiliasi disiplin
ilmu yang tunggal.
Chris Barker (2000) mengakui bahwa kajian budaya tidak
memiliki titik acuan yang tunggal. Selain itu, kajian budaya memang terlahir
dari indung alam pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner
dan teori kritis multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental.
Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu
lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan
model dari teori yang sudah ada dari para pemikir
strukturalis/pascastrukturalis.
Source:
Barker,Chris.2012.Cultural Studies Teori dan Praktik.Yogyakarta:Kreasi Wacana
8. Bagaimana
sejarah cultural studies di Inggris? (Sandi Suwardi Hasan dalam Pngantar
Cultural Studies; Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya
Kapitalisme Lanjut, p, 69-88)
Jawab :
Kajian budaya atau cultural studies pertama kali muncul di Birmingham,
Inggris, yang diprakarsai oleh Raymond Williams dan kawan kawan. Cultural
studies muncul sebagai satu bidang studi di Inggris pada periode 1950-an,
muncul dari paham Leavisisme. Leavisisme merupakan sebuah bentuk studi
kesusasteraan yang namanya diambil dari nama salah satu anggota studi ini yang
paling terkenal yaitu F.R. Leavis. Leavisime merupakan usaha menyebarkan apa
yang sekarang dikenal dengan “modal budaya” seperti yang dikatakan oleh Pierre
Bourdieu. Cultural studies berkembang dari Leavisime melalui Hoggar dan
Williams, yang tulisan-tulisannya dipakai disecondary schools dan tertiary
colleges, tidak lama setelah tulisan-tulisan ini terbit. Keduanya berasal dari
keluarga klas pekerja, keduanya pernah bekerja sebagai guru di jenjang pasca
pendidikan wajib, meskipun dalam pendidikan pekerja. Dengan demikian, mereka
mengalami Leavisime secara ambivalen. Di satu sisi, mereka menerima bahwa
teks-teks resmi memang lebih kaya dibandingkan “budaya massa” , dan bahwa
budaya perlu diukur kapasitasnya untuk meperdalam dan memperluas pengalaman. di
lain sisi, mereka mengakui bahwa Leavisisme bisa menghapuskan, atau setidaknya
tidak berhubungan dengan bentuk-bentuk komunal dari kehidupan, di manamereka
dilahirkan.
Hoggart kemudian mendirikan the Birmingham Centre for Contermporary
Cultural Studies (CCCS), sebuah institut pasca sarjana dan penelitian yang
didirikan untuk memperdalampenelitiannya, segalanya dimulai dengan kenyataan
bahwa dirinya harus berhadapan dengan ketegangan tadi. Hoggart percaya bahwa
menagungkan budaya tinggi yang sudah tua itu dapat berjalan sejajar dengan
memunculkkan kembali budaya masa mudanya, sebab keduanya sama-sama terpisah
dari budaya popular komersial yang kontemporer. Dengan demikian, keduanya juga
sama-sama mendapat ancaman. Ancaman terhadap kehidupan klas pekerja tradisional
Inggris dan kemudian lenyapnya klas tsb, perlu mendapat perhatian di sini
karena hal ini memiliki arti penting untuk perkembangan cultural studies awal.
Sebelum perang, sejak awal 1920-an, ekonomi Inggris didominasi oleh
pengangguran – tidak pernah kurang dari sejuta pengangguran pada masa ini. Ini
adalah latar belakang dari apa yang disebut Hoggar dengan klas pekerja
“tradisional”. Menjelang akhir 1940-an, Inggris berubah menjadi negara dengan
sangat sedikit jumlah pengangguran, dan menjelang akhir 1950-an, ekonomi Inggris
semakin mengarah ke terhapusnya pengangguran. terhapusnya pengangguran.
Pekerjaan bergeser ke sektor pemerintah; pabrikpabrik kecil digantikan dengan
pabrik besar yang memakai teknik produksi ‘Fordisme’ – yang berarti,
menyederhanakan tugas-tugas pekerja di assembly line – yang berarti juga, buruh
semakin tidak punya keahlian (deskilled). Bersamaan dengan itu, perbedaan
antara whitecollar dengan gaji rendah, dengan blue-collar semakinmengecil.
imigrasi skala besar dari daerah-daerah koloni yang terjadi selama 1950-an
membawa akibat banyak pekerja setempat yang tidak perlu lagi bekerja di
bidang-bidang yang paling tidak diinginkan. Pekerja kemudian menjadi semakin
‘makmur’ (sesuai istilah yang dipakai media saat itu), setidaknya mereka
semakin mampu membeli barang-barang konsumtif seperti mobil, baju, mesin cuci,
lemari es, telpon, dan yang paling penting, televisi.
Pada akhirnya, program perumahan yang dilakukan oleh negara dalam skala
besar, wajib militer, dan reformasi sistem pendidikan sehingga klas pekerja
berkesempatan memasuki pendidikan tinggi, juga mendorong runtuhnya budaya yang
disebutkan Hoggart Beberapa teori yang sebetulnya mengartikulasikan agenda
cultural studies: teori budaya Marxis & teori estetika dan budayaMazhab
Frankfurt Tetapi istilah cultural studies baru mulai digunakan pada karya-karya
anggota Mazhab Birminghamdi CCCS Para akademisi CCCS: Stuart Hall, PaulWillis,
Dick Hebdige, dll. Pijakan para akademisi tsb adalah teori Marxis, tetapi
pendekatannya jauh diluar pendekatanMarxis atas budaya Pendekatan para
akademisi tsb mendapat berbagai pengaruh politis & intelektual,
misal:Gramsci, Foucault, dan feminisme. Cultural studies Birmingham dilakukan
dengan lebih dekat pada kehidupan politik sehari-hari dan gerakan sosial. Hal
tsb disebabkan: _ para akademisi Inggris tadi mau tidak mau harus
melawan serangan PM Tatcher atas kelas pekerja, intelektual, dan kaumkiri.
Meskipun studi ini tidak melihat dirinya seperti ini. Kajian budaya
berminat dalam mempelajari budaya budaya yang terpinggirkan oleh
ideologi-ideologi dominan yang hidup pada sebuah budaya. Adapun fokus suatu
kajian budaya adalah perubahan sosial, yaitu munculnya atau diakuinya
budaya-budaya yang termarginalkan tersebut. Inilah yang membedakan dengan
frankfur school yang melawan dominasi untuk merebut kekuasaan dalam masyarakat.
Objek kajian budaya pada umumnya adalah ras, gender dan usia.
Kajian budaya merupakan sebuah bidang studi interdisipliner, yang
diakui sebagai bidang studi secara resmi, dengan ditandai oleh munculnya “ the centre
for the contempory cultural studies” di Birmingham, Inggris tahun 1964.
9. Berikan
tanggapan terhadap metode, aplikasi dan pembahasan Aquarini Priyatna dalam
sub-bab Selebritas Indo: Tubuh yang paradoks, (p, 77-92). Dalam Becoming White:
representasi Ras, kelas, feminitas dan globalitas dalam iklan sabun)
Source:
Barker,Chris.2012.Cultural Studies Teori dan Praktik.Yogyakarta:Kreasi Wacana
Jawab :
Pada
cover majalah Femina No. 29 / XXIX, 19-25 Juli 2001, sosok Tamara ditampilkan
sebagai wanita dewasa yang modern di balik gaun panjang. Pakaian serta make-up yang minimalis menyiratkan
sosok perempuan yang mandiri dan dewasa, dalam kerangka kehidupan modern. Gaya
busana dan rambut merah Tamara merupakan gaya yang hampir tidak semua perempuan
bisa menirunya. Meskipun demikian, sosok tersebut kerap dinikmati sebagai sosok
ideal yang dimitoskan: putih, cantik, dan bersih. Sementara Sophia, dalam cover
majalah Femina No. 37 / XXIX, 13-19 September 2001, terlihat lebih santai.
Gambar
kedua sampul tersebut menangkap momen ketika ketidakputihan serta lokalitas
mereka dikecilkan sementara fitur global serta ke-putih-an mereka ditekankan
dan menghasilkan efek feminitas yang ideal dan dianggap benar oleh sebagian
besar perempuan. Meskipun tidak muncul dalam gambar, sabun hadir dalam bentuk
representasi modelnya (yaitu Tamara dan Sophie). Sabun hadir dari referensi
warna yang digunakan oleh majalah untuk menyamakan warna sabun yang (ingin) diiklankan
begitu juga dengan warna pakaian yang digunakan oleh kedua modelnya.
Sophia
menggunakan jeans biru, dan pakaian biru yang sama dengan bungkus GIV, begitu
juga warna latar sampul. Sementara Tamara menggunakan baju pink, yang merupakan
warna sabun LUX yang diiklankannya. Walaupun Aquarini belum mengeksploitasi
penggunaan warna dalam iklan secara mendalam, namun ia yakin bahwa referensi
warna memegang peranan penting dalam proses penandaan, pengakraban, yang dapat
hadir dengan sangat halus, dan bergantung pada kemampuan audiens untuk
mengenali hadir “tak bertanda” dalam iklan sabun tersebut.
Pada
bagian ini Aquarini mengajak kita untuk memahami bahwa representasi tubuh indo
senada dengan berkembangnya gagasan hitam/putih menjadi gagasan global/lokal.
Di sini, ia menjelaskan bahwa globalisasi menggunakan berbagai cara untuk
(sebetulnya) menggantikan peran kolonialisasi: semacam nostalgia kolonialisme. Kampanye
sabun menekankan pada bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk memutihkan
kulit. Gagasan atas desirabilitas tubuh yang dikonstruksi melalui iklan sabun
selama Zaman Victoria dikembangkan atas dasar hasrat kolonial untuk menegakkan
keinggrisan sebagai suatu standar peradaban. Dengan mengandaikan sabun sebagai
alat peradaban, maka menjadi Inggris berarti menjadi berbudaya dan beradab. Di
sini jelas bahwa iklan sabun mengimplikasi bahwa menjadi beradab dan berbudaya
berarti menjadi putih dan bersih.
Konsep
universal yang diusung oleh iklan sabun tersebut menjadikan putih adalah
segalanya, di samping adanya penjelasan bahwa putih adalah gabungan dari
warna-warna. Selebriti indo yang membintangi iklan sabun, kulit putihnya,
ditekankan sedemikian, sehingga ke-putih-an mereka menutupi warna lain (dalam
iklan). Ke-putih-an mereka dalam iklan itu diterima sebagai sesuatu yang
alamiah. Karena ke-putih-an merupakan konsep global, maka representasi
selebriti indo dalam iklan sabun adalah fenomena global pada ranah lokal. Tubuh
mereka hanya bisa dikatakan putih jika berada pada lingkungan yang tidak putih.
Fenomena yang mengondisikan putih lokal sebagai cukup global di dalam
lokalitasnya, tetapi tidak cukup global untuk dapat diakui menjadi “putih
universal”, adalah refleksi tatanan global.
Kehadiran
selebriti indo dalam iklan sabun di Indonsia menjadi bersifat paradoks. Di satu
sisi, mereka dijelaskan sebagai perempuan yang modern, berbudaya, dan berkulit
putih, tapi bukan putih orang kulit putih sebenarnya, melainkan globalitas
‘putih’ mereka hanya terjadi di dalam lokalitas kebudayaan Indonesia. Terakhir,
iklan sabun di Indonesia yaitu iklan sabun LUX dan GIV, selebriti indo
direpresentasikan sebagai putih, berbudaya, global, dan universal di dalam
lokalitas kebudaaan Indonesia.
Source:
Prabasmoro, Aquarini
Priyatna. (2003). Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan
Globalisasi dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra
10. Uraikan
dan analisis permasalahan sosial atau budaya atau kehidupan sehari-hari yang
dapat anda temui dalam tulisan (Stuart Hall and Cultural Studies: Decoding
Cultural Opperession”, retrieved on Nov, 26 2014 from: http://www.pineforge.com/upmdata/13286_Chapter_2_Web_byte_stuart_hall)
Jawab :
Seiring dengan berkembangnya
teknologi informasi, maka informasi yang kita dapatkan dapat diakses dengan
mudah dan cepat. Hal tersebut dapat kita lihat pada perkembangan media
elektronik khususnya televisi. Dalam perkembangan media televisi tentu saja membawa
dampak negatif dan positif. Televisi juga merupakan suatu sarana dalam sebuah
komunikasi massa, yang juga menjadi salah satu media menyampaikan pesan-pesan
yang terkandung di dalamnya kepada publik yang menonton tayangan tersebut.
Program tersebut mengangkat permasalahan pribadi yang dialami oleh seorang
perempuan yang berujung dengan drama, sedih, menggurai air mata serta, seorang
perempuan yang selalu identik dengan cantik, lemah, tak berdaya, serta menjadi
korban kekerasan oleh laki laki. Inilah yang dijadikan bahan“jualan” dalam
acara talk show ini.
Perempuan tidak bisa terlepas
dari konstruksi gender masyarakat yang disampaikan secara turun temurun,
seperti seorang perempuan adalah sosok yang seakan diharapkan menjadi seorang
istri dan ibu rumah tangga, tidak berpendidikan tinggi dan feminin. Berbeda
dengan laki-laki yang dikonstruksikan sebagai pencari nafkah, berpendidikan
tinggi dan pemimpin keluarga. Karena konstruksi gender merupakan bangunan
sosial dan kultural yang pada akhirnya membedakan antara laki-laki dan
perempuan. Secara karakteristik maskulin dan feminin selalu menjadi polemik di
berbagai kalangan tak terkecuali bagi media.
Gender tak lepas dari
pengertian penempatan peran antara laki-laki dan perempuan di media. Sehingga
permasalahan perbedaan gender sangat terlihat. Program tersebut secara
terang-terangan “membantu” kaum perempuanyang menjadi korban kekerasan yang oleh laki-laki dan tanpa disadari perempuan yang
di tampilkan dalam program talk show malah
menjadi objek atau target komoditas dan eksploitasi
bagi media khususnya televisi. Serta sebagai sasaran bagi pemilik modal untuk
meraih keuntungan. Menariknya lagi dari program ini adalah, pembawa acara/ host, psikolog, pakar agama serta
penonton yang berada di studio merupakan “perempuan” semua. Hal inilah yang
semakin memperkuat bahwa perempuanlah yang menjadi objek menggiurkan untuk
dieksploitasi bagi pemilik media. Perempuan seolah selalu menjadi objek yang
menarik untuk “dijual” dengan segala sisi dalam dirinya. Media massa sering
kali merepresentasikan perempuan dalam berbagai teks dan nilai, seperti halnya
dalam program CHP.
Perempuan dalam media massa
khususnya televisi, menjadi bagian representasi, hal-hal bersifat pribadi dan
rahasia menjadi komoditi kapitalisme yang diperjualbelikan. Begitu pula
representasi perempuan dalam program Curahan
Hati Perempuan media yang memiliki satu ukuran yang menjadikan penilaian citra perempuan itu menjadi termajinalkan.
Dalam hal ini, representasi perempuan dalam media menjadi salah satu hal yang
mendapat keprihatinan feminis. Para feminis berangapan bahwa mediaadalah
gambaran dari kepentingan, kehendak, serta hasrat masyarakat patriarki yang di
topang oleh kapitalis yang dijadikan sebagai komoditas.
“Kekerasan terhadap perempuan
adalah tindakan yang di lakukan oleh seorang laki laki atau sejumlah laki-laki
dengan mengerahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian atau
penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis pada seorang perempuan atau
sekelompok perempuan termasuk tindakan yang bersifat memaksa, dan atau berbuat
sewenang baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan
pribadi diruang domestik atau publik”. (La Pona 2002:07)
Perempuan di dalam media
massa seringkali diposisikan sebagai sosok yang termajinalkan dalam masyarakat
patriarki dengan perempuan yang di gambarkan sebagai perempuan yang lemah dan
selalu menjadi objek kekerasan laki-laki. Dalam hal ini perempuan dilihat
sebagai fenomena dari media massa khususnya televisi. Program Curahan Hati Perempuan menjadikan
perempuan sebagai fenomena eksploitasi dan komodifikasi sebagai individu di
masyarakat. Menurut peneliti program Curahan
Hati Perempuan bukan mengangkat
perempuan ataupun membuat citra perempuan
menjadi baik akan tetapi justru merepresentasikan bahwa perempuan itu buruk,
lemah, tidak bisa mandiri, cenggeng, tidak bisa mengatasi atau menghadapi
masalah sendiri. Serta seorang perempuan yang digambarkan sebagai sosok
perempuan yang tidak bisa apa-apa hanya jadi bahan cacian, makian dan korban
kekerasan oleh laki-laki baik itu secara fisik maupun psikis.